Di ruang paviliun anak RSPAD, suasana penuh harap dan duka menyelimuti keluarga. Jenderal Nasution dan istrinya, Johanna Sunarti, silih berganti mendampingi putrinya. Hendrianti Sahara, kakak Ade Irma yang berusia 13 tahun, ikut menahan tangis di samping ranjang.
Sore 6 Oktober 1965, usai operasi keempat, Ade Irma membuka mata dengan lemah. Ia menatap kakaknya dan berkata lirih, “Kakak jangan menangis, Adik sehat.” Lalu dengan polos ia bertanya pada ibunya, “Kenapa Ayah mau dibunuh, Mama?” Pertanyaan itu menorehkan luka mendalam yang tak pernah terhapus dalam sejarah keluarga Nasution.
Malam harinya, pukul 20.00 WIB, setelah lima hari bertahan, Ade Irma Suryani menghembuskan napas terakhirnya. Johanna Sunarti melepas kepergian putrinya dengan bisikan penuh kepasrahan, “Mama ikhlas Ade pergi.”
Kisah gugurnya Ade Irma menjadi simbol kepolosan yang dikorbankan dalam tragedi berdarah G30S. Hingga kini, nama Ade Irma tetap dikenang sebagai cahaya abadi yang mengingatkan bangsa akan harga mahal yang harus dibayar demi menjaga Indonesia. (*)